19 Tanda Gagal Ramadhan

19 Tanda Gagal Ramadhan


Di bulan Ramadhan, pintu neraka ditutup dan pintu syurga dibuka lebar-lebar. Namun banyak orang gagal mendapatkan kemuliaannya. Di bawah ini kiat-Kiat menghindarinya gagalnya Ramadhan

1. Kurang melakukan persiapan di bulan Sya’ban.


Misalnya, tidak tumbuh keinginan melatih bangun malam dengan shalat tahajjud. Begitupun tidak melakukan puasa sunnah Sya’ban, sebagaimana telah disunnahkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits Bukhari dan Muslim, dari Aisyah Radhiallaahu ‘anha berkata, ”Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa selain di bulan Sya’ban.”

2. Gampang mengulur shalat fardhu.


“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan kecuali orang-orang yang bertaubat dan beramal shalih.” (Maryam: 59)

Menurut Sa’id bin Musayyab, yang dimaksud dengan tarkush-shalat (meninggalkan shalat) ialah tidak segera mendirikan shalat tepat pada waktunya. Misalnya menjalankan shalat zhuhur menjelang waktu ashar, ashar menjelang maghrib, shalat maghrib menjelang isya, shalat isya menjelang waktu subuh serta tidak segera shalat subuh hingga terbit matahari. Orang yang bershiyam Ramadhan sangat disiplin menjaga waktu shalat, karena nilainya setara dengan 70 kali shalat fardhu di bulan lain.

3. Malas menjalankan ibadah-ibadah sunnah.


Termasuk di dalamnya menjalankan ibadah shalatul-lail. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah merupakan ciri orang yang shalih.

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Al-Anbiya:90)

“Dan hamba-Ku masih mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya.” (Hadits Qudsi)

4. Kikir dan rakus pada harta benda.


Takut rugi jika mengeluarkan banyak infaq dan shadaqah adalah tandanya. Salah satu sasaran utama shiyam agar manusia mampu mengendalikan sifat rakus pada makan minum maupun pada harta benda, karena ia termasuk sifat kehewanan (Bahimiyah). Cinta dunia serta gelimang kemewahan hidup sering membuat manusia lupa akan tujuan hidup sesungguhnya.

Mendekat kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala, akan menguatkan sifat utama kemanusiaan (Insaniyah).

5. Malas membaca Al-Qur’an.


Ramadhan juga disebut Syahrul Qur’an, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Orang-orang shalih di masa lalu menghabiskan waktunya baik siang maupun malam Ramadhan untuk membaca Al-Qur’an.

“Ibadah ummatku yang paling utama adalah pembacaan Al-Qur’an.” (HR Baihaqi)

Ramadhan adalah saat yang tepat untuk menimba dan menggali sebanyak mungkin kemuliaan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Kebiasaan baik ini harus nampak berlanjut setelah Ramadhan pergi, sebagai tanda keberhasilan latihan di bulan suci.

6. Mudah mengumbar amarah.


Ramadhan adalah bulan kekuatan. Nabi Saw bersabda: “Orang kuat bukanlah orang yang selalu menang ketika berkelahi. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai diri ketika marah.”

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Puasa itu perisai diri, apabila salah seorang dari kamu berpuasa maka janganlah ia berkata keji dan jangan membodohkan diri. Jika ada seseorang memerangimu atau mengumpatmu, maka katakanlah sesesungguhnya saya sedang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

7. Gemar bicara sia-sia dan dusta.


“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta perbuatan Az-Zur, maka Allah tidak membutuhkan perbuatan orang yang tidak bersopan santun, maka tiada hajat bagi Allah padahal dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Kesempatan Ramadhan adalah peluang bagi kita untuk mengatur dan melatih lidah supaya senantiasa berkata yang baik-baik. Umar ibn Khattab Ra berkata: “Puasa ini bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga dari dusta, dari perbuatan yang salah dan tutur kata yang sia-sia.” (Al Muhalla VI: 178) Ciri orang gagal memetik buah Ramadhan kerap berkata di belakang hatinya. Kalimat-kalimatnya tidak ditimbang secara masak: “Bicara dulu baru berpikir, bukan sebaliknya, berpikir dulu, disaring, baru diucapkan.”

8. Memutuskan tali silaturrahim.


Ketika menyambut datangnya Ramadhan Rasulullah Saw bersabda: “…Barangsiapa menyambung tali persaudaraan (silaturrahim) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya…” Puasa mendidik pribadi-pribadi untuk menumbuhkan jiwa kasih sayang dan tali cinta.

Pelaku shiyam jiwanya dibersihkan dari kekerasan hati dan kesombongan, diganti dengan perangai yang lembut, halus dan tawadhu. Apabila ada atau tidak adanya Ramadhan tidak memperkuat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan, itu tanda kegagalan.

9. Menyia-nyiakan waktu.


Al-Qur’an mendokumentasikan dialog Allah Swt dengan orang-orang yang menghabiskan waktu mereka untuk bermain-main.

“Allah bertanya: ‘ Berapa tahunkan lamanya kamu tinggal di bumi?’

Mereka menjawab: ‘Kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari. maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’

Allah berfirman: ‘Kamu tidak tingal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui. "Maka apakah kamu mengira sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak Tuhan yang berhak disembah selain Dia, Tuhan yang mempunyai ‘Arsy yang mulia.” (Al-Mu’minun: 112-116)

Termasuk gagal dalam ber-Ramadhan orang yang lalai atas karunia waktu dengan melakukan perbuatan sia-sia, kemaksiatan, dan hura-hura. Disiplin waktu selama Ramadhan semestinya membekas kuat dalam bentuk cinta ketertiban dan keteraturan.

10. Labil dalam menjalani hidup.


Labil alias perasaan gamang, khawatir, risau, serta gelisah dalam menjalani hidup juga tanda gagal Ramadhan. Pesan Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya telah datang bulan Ramadhan yang penuh berkah. Allah telah memfardhukan atas kamu berpuasa di dalamnya. Dibuka semua pintu surga, dikunci semua pintu neraka dan dibelenggu segala syetan. Di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tiada diberikan kebajikan malam itu, maka sungguh tidak diberikan kebajikan atasnya.” (HR Ahmad, Nasa’i, Baihaqi dari Abu Hurairah)

Bila seseorang meraih berkah bulan suci ini, jiwanya mantap, hatinya tenteram, perasaannya tenang dalam menghadapi keadaan apapun.

11. Tidak bersemangat mensyiarkan Islam.


Salah satu ciri utama alumnus Ramadhan yang berhasil ialah tingkat taqwa yang meroket. Dan setiap orang yang ketaqwaannya semakin kuat ialah semangat mensyiarkan Islam. Berbagai kegiatan ‘amar ma’ruf nahiy munkar dilakukannya, karena ia ingin sebanyak mungkin orang merasakan kelezatan iman sebagaimana dirinya. Jika semangat ini tak ada, gagal lah Ramadhan seseorang.

12. Khianat terhadap amanah.


Shiyam adalah amanah Allah yang harus dipelihara (dikerjakan) dan selanjutnya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak.

Shiyam itu ibarat utang yang harus ditunaikan secara rahasia kepada Allah. Orang yang terbiasa memenuhi amanah dalam ibadah sir (rahasia) tentu akan lebih menepati amanahnya terhadap orang lain, baik yang bersifat rahasia maupun yang nyata. Sebaliknya orang yang gagal Ramadhan mudah mengkhianati amanah, baik dari Allah maupun dari manusia.

13. Rendah motivasi hidup berjama’ah.


Frekuensi shalat berjama’ah di masjid meningkat tajam selama Ramadhan. Selain itu, lapar dan haus menajamkan jiwa sosial dan empati terhadap kesusahan sesama manusia, khususnya sesama Muslim. Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjama’ah, yang saling menguatkan.

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam saatu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4) Ramadhan seharusnya menguatkan motivasi untuk hidup berjama’ah.

14. Tinggi ketergantungannya pada makhluk.


Hawa nafsu dan syahwat yang digembleng habis-habisan selama bulan Ramadhan merupakan pintu utama ketergantungan manusia pada sesama makhluk. Jika jiwa seseorang berhasil merdeka dari kedua mitra syetan itu setelah Ramadhan, maka yang mengendalikan dirinya adalah fikrah dan akhlaq. Orang yang tunduk dan taat kepada Allah lebih mulia dari mereka yang tunduk kepada makhluk.

15. Malas membela dan menegakkan kebenaran.


Sejumlah peperangan dilakukan kaum Muslimin melawan tentara-tentara kafir berlangsung di bulan Ramadhan. Kemenangan Badar yang spektakuler itu dan penaklukan Makkah (Futuh Makkah) terjadi di bulan Ramadhan. Di tengah gelombang kebathilan dan kemungkaran yang semakin berani unjuk gigi, para alumni akademi Ramadhan seharusnya semakin gigih dan strategis dalam membela dan menegakkan kebenaran. Jika bulan suci ini tidak memberi bekal perjuangan baru yang bernilai spektakuler, maka kemungkinan besar ia telah meninggalkan kita sebagai pecundang.

16. Tidak mencintai kaum dhuafa.


Syahru Rahmah, Bulan Kasih Sayang adalah nama lain Ramadhan, karena di bulan ini Allah melimpahi hamba-hamba-Nya dengan kasih sayang ekstra. Shiyam Ramadhan menanam benih kasih sayang terhadap orang-orang yang paling lemah di kalangan masyarakat. Faqir miskin, anak-anak yatim dan mereka yang hidup dalam kemelaratan. Rasa cinta kita terhadap mereka seharusnya bertambah. Jika cinta jenis ini tidak bertambah sesudah bulan suci ini, berarti Anda perlu segera instrospeksi.

17. Salah dalam memaknai akhir Ramadhan.


Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan seluruh rakyatnya supaya mengakhiri puasa dengan memperbanyak istighfar dan memberikan sadaqah, karena istighfar dan sadaqah dapat menambal yang robek-robek atau yang pecah-pecah dari puasa. Menginjak hari-hari berlalunya Ramadhan, mestinya kita semakin sering melakukan muhasabah (introspeksi) diri.

“Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

18. Sibuk mempersiapkan Lebaran.


Kebanyakan orang semakin disibukkan oleh urusan lahir dan logistik menjelah Iedul Fitri. Banyak yang lupa bahwa 10 malam terakhir merupakan saat-saat genting yang menentukan nilai akhir kita di mata Allah dalam bulan mulia ini. Menjadi pemenang sejati atau pecundang sejati.

Konsentrasi pikiran telah bergeser dari semangat beribadah, kepada luapan kesenangan merayakan Idul Fitri dengan berbagai kegiatan, akibatnya lupa seharusnya sedih akan berpisah dengan bulan mulia ini.

19. Idul Fitri dianggap hari kebebasan.


Secara harfiah makna Idul Fitri berarti “hari kembali ke fitrah”. Namun kebanyakan orang memandang Iedul Fitri laksana hari dibebaskannya mereka dari “penjara” Ramadhan. Akibatnya, hanya beberapa saat setelah Ramadhan meninggalkannya, ucapan dan tindakannya kembali cenderung tak terkendali, syahwat dan birahi diumbar sebanyak-banyaknya. Mereka lupa bahwa Iedul Fitri seharusnya menjadi hari di mana tekad baru dipancangkan untuk menjalankan peran khalifah dan abdi Allah secara lebih profesional.

Kesadaran penuh akan kehidupan dunia yang berdimensi akhirat harus berada pada puncaknya saat Iedul Fitri, dan bukan sebaliknya.*Hidayatullah)

16 Kekeliruan Umum Selama Ramadhan

16 Kekeliruan Umum Selama Ramadhan


Ramadhan Oleh : Redaksi 18 Oct 2004 - 11:51 pm

Meski Ramadhan bulan adalah bulan ampunan, untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang kini ‘menyapa’ kita, di bawah ini kami sarikan 16 kekeliruan umum yang sering dialami umat Islam selama Ramadhan

Hanya orang yang tidak tahu dan enggan saja yang tidak segera bergegas menyambut bulan suci ini dalam arti yang sebenarnya, lahir maupun batin. “Berapa banyak orang yang berpuasa (tapi) tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah & Nasa’i)

Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar puasa kita tahun ini, lebih paripurna dan bermakna.

1. Merasa sedih, malas, loyo dan tak bergairah menyambut bulan suci Ramadhan


Acapkali perasaan malas segera menyergap mereka yang enggan menahan rasa payah dan penat selama berpuasa. Mereka berasumsi bahwa puasa identik dengan istirahat, break dan aktifitas-aktifitas non-produktif lainnya, sehingga ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun. Padahal puasa mendidik kita untuk mampu lebih survive dan lebih memiliki daya tahan yang kuat. Sejarah mencatat bahwa kemenangan-kemenangan besar dalam futuhaat (pembebasan wilayah yang disertai dengan peperangan) yang dilancarkan oleh Rasul dan para sahabat, terjadi di tengah bulan Ramadhan.

Semoga ini menjadi motivator bagi kita semua, agar tidak bermental loyo & malas dan tidak berlindung di balik kata “Aku sedang puasa”.

2. Berpuasa tapi enggan melaksanakan shalat fardhu lima waktu

Ini penyakit yang --diakui atau tidak-- menghinggapi sebagian umat Islam, mereka mengira bahwa Ramadhan cukup dijalani dengan puasa semata, tanpa mau repot mengiringinya dengan ibadah shalat fardhu. Padahal shalat dan puasa termasuk rangkaian kumulatif (rangkaian yang tak terpisah/satu paket) rukun Islam, sehingga konsekwensinya, bila salah satunya dilalaikan, maka akan berakibat gugurnya predikat “Muslim” dari dirinya.

3. Berlebih-lebihan dan boros dalam menyiapkan dan menyantap hidangan berbuka serta sahur

Ini biasanya menimpa sebagian umat yang tak kunjung dewasa dalam menyikapi puasa Ramadhan, kendati telah berpuluh-puluh kali mereka melakoni bulan puasa tetapi tetap saja paradigma mereka tentang ibadah puasa tak kunjung berubah. Dalam benak mereka, saat berbuka adalah saat “balas dendam” atas segala keterkekangan yang melilit mereka sepanjang + 12 jam sebelumnya, tingkah mereka tak ubahnya anak berusia 8-10 tahun yang baru belajar puasa kemarin sore.

4. Berpuasa tapi juga melakukan ma’siat

Asal makna berpuasa bermakna menahan diri dari segala aktifitas, dalam Islam, ibadah puasa membatasi kita bukan hanya dari aktifitas yang diharamkan di luar Ramadhan, bahkan puasa Ramadhan juga membatasi kita dari hal-hal yang halal di luar Ramadhan, seperti; Makan, minum, berhubungan suami-istri di siang hari.

Kesimpulannya, jika yang halal saja kita dibatasi, sudah barang tentu hal yang haram, jelas lebih dilarang.

Sehingga dengan masa training selama sebulan ini akan mendidik kita menahan pandangan liar kita, menahan lisan yang tak jarang lepas kontrol, dsb.

“Barang siapa yang belum mampu meninggalkan perkataan dosa (dusta, ghibah, namimah dll.) dan perbuatan dosa, maka Allah tak membutuhkan puasanya (pahala puasanya tertolak).

5. Sibuk makan sahur sehingga melalaikan shalat shubuh, sibuk berbuka sehingga melupakan shalat maghrib

Para pelaku poin ini biasanya derivasi dari pelaku poin 3, mengapa ? Sebab cara pandang mereka terhadap puasa tak lebih dari ; “Agar badan saya tetap fit dan kuat selama puasa, maka saya harus makan banyak, minum banyak, tidur banyak sehingga saya tak loyo”. Kecenderungan terhadap hak-hak badan yang over (berlebihan).

6. Masih tidak merasa malu membuka aurat (khusus wanita muslimah)


Sebenarnya momen Ramadhan bila dijalani dengan segala kerendahan hati, akan mampu menyingkap hijab ketinggian hati dan kesombongan sehingga seorang Muslimah akan mampu menerima segala tuntunan dan tuntutan agama ini dengan hati yang lapang. Menutup aurat, misalnya, akan lebih mudah direalisasi ketimbang di bulan selain Ramadhan. Mari kita hindari sifat-sifat nifaq yang pada akhir-akhir ini sangat diumbar dan dianggap sah, Ramadhan serba tertutup, saat lepas Ramadhan, lepas pula jilbabnya, inilah sebuah contoh pemahaman agama yang parsial (setengah-setengah), tidak utuh.

6. Menghabiskan waktu siang hari puasa dengan tidur berlebihan

Barangkali ini adalah akibat dari pemahaman yang kurang tepat dari sebuah hadits Rasul yang berbunyi “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” Memang selintas prilaku tidur di siang hari adalah sah dengan pedoman hadits diatas, namun tidur yang bagaimana yang dimaksud oleh hadits diatas? Tentu bukan sekedar tidur yang ditujukan untuk sekedar menghabiskan waktu, menunggu waktu ifthar (berbuka) atau sekedar bermalas-malasan, sehingga tak heran bila sebagian -besar- umat ini bermental loyo saat berpuasa Ramadhan.

Lebih tepat bila hadits diatas difahami dengan; Aktifitas tidur ditengah puasa yang berpahala ibadah adalah bila ;

Tidur proporsional tersebut adalah akibat dari letih dan payahnya fisik kita setelah beraktifitas; Mencari rezeki yang halal, beribadah secara khusyu’ dsb.

Tidur proporsional tersebut diniatkan untuk persiapan qiyamullail (menghidupkan saat malam hari dengan ibadah)

Tidur itu diniatkan untuk menghindari aktifitas yang –bila tidak tidur- dikhawatirkan akan melanggar rambu-rambu ibadah Ramadhan, semisal ghibah (menggunjing), menonton acara-acara yang tidak bermanfaat, jalan-jalan untuk cuci mata dsb.

Pemahaman hadits diatas nyaris sama dengan pemahaman hadits yang menyatakan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada minyak misk (wangi) disisi Allah, bila difahami selintas maka akan menghasilkan pengamalan hadits yang tidak proporsional, seseorang akan meninggalkan aktifitas gosok gigi dan kebersihan mulutnya sepanjang 29 hari karena ingin tercium bau wangi dari mulutnya, faktanya bau mulut orang yang berpuasa tetap saja akan tercium kurang sedap karena faktor-faktor alamiyah, adapun bau harum tersebut adalah benar adanya secara maknawi tetapi bukan secara lahiriyah, secara fiqh pun, bersiwak atau gosok gigi saat puasa adalah mubah (diperbolehkan)

7. Meninggalkan shalat tarwih tanpa udzur/halangan

Benar bahwa shalat tarawih adalah sunnah tetapi bila dikaji secara lebih seksama niscaya kita akan dapatkan bahwa berpuasa Ramadhan minus shalat tarawih adalah suatu hal yang disayangkan, mengingat amalan sunnah di bulan ini diganjar sama dengan amalan wajib.

8. Masih sering meninggalkan shalat fardhu 5 waktu secara berjama’ah tanpa udzur/halangan ( terutama untuk laki-laki muslim )

Hukum shalat fardhu secara berjama’ah di masjid di kalangan para fuqaha’ adalah fardhu kifayah, bahkan ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang mengisahkan bahwa beliau rasanya ingin membakar rumah kaum Muslimin yang tidak shalat berjama’ah di masjid, sebagai sebuah ungkapan atas kekecewaan beliau yang dalam atas kengganan umatnya pergi ke masjid.

9. Bersemangat dan sibuk beribadah sunnah selama Ramadhan tetapi setelah Ramadhan berlalu, shalat fardhu lima waktu masih tetap saja dilalaikan


Ini pun contoh dari orang yang tertipu dengan Ramadhan, hanya sedikit lebih berat dibanding poin-poin diatas. Karena mereka Hanya beribadah di bulan Ramadhan, itupun yang sunnah-sunnah saja, semisal shalat tarawih, dan setelah Ramadhan berlalu, berlalu pula ibadah shalat fardhunya.

10. Semakin jarang membaca Al Qur'an dan maknanya

11. Semakin jarang bershadaqah
12. Tidak termotivasi untuk banyak berbuat kebajikan

13. Tidak memiliki keinginan di hatinya untuk memburu malam Lailatul Qadar

Poin nomor 8, 10, 11, 12 dan 13 secara umum, adalah indikasi-indikasi kecilnya ilmu, minat dan apresiasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap bulan Ramadhan, karena semakin besar perhatian dan apresiasi seseorang kepada Ramadhan, maka sebesar itu pula ibadah yang dijalankannya selama Ramadhan.

14. Biaya belanja & pengeluaran ( konsumtif ) selama bulan Ramadhan lebih besar & lebih tinggi daripada pengeluaran di luar bulan Ramadan (kecuali bila biaya pengeluaran itu untuk shadaqah)

15. Lebih menyibukkan diri dengan belanja baju baru, camilan & masak-memasak untuk keperluan hari raya pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan 

16. Lebih sibuk memikirkan persiapan hari raya daripada amalan puasa

Mereka lebih sibuk apa yang dipakai di hari raya dibanding memikirkan apakah puasanya pada tahun ini diterima oleh Allah Ta’aala atau tidak Orang-orang yang biasanya mengalami poin-poin nomor 14, 15 dan 16 adalah orang-orang yang tertipu oleh “fatamorgana Ramadhan”, betapa tidak ? Pada hari-hari puncak Ramadhan, mereka malah menyibukkan diri mereka dan keluarganya dengan belanja ini-itu, substansi puasa yang bermakna menahan diri, justru membongkar jati diri mereka yang sebenarnya, pribadi-pribadi “produk Ramadhan” yang nampak begitu konsumtif, memborong apa saja yang mereka mampu beli. Tak terasa ratusan ribu hingga jutaan rupiah mengalir begitu saja, padahal di luar Ramadhan, belum tentu mereka lakukan. Semoga sentilan yang menyatakan bahwa orang Islam tidak konsisten dengan agamanya, karena di bulan Ramadhan yang seharusnya bersemangat menahan diri dan berbagi, ternyata malah memupuk semangat konsumerisme dan cenderung boros, dapat menggugah kita dari “fatamorgana Ramadhan”.

Semoga Allah menganugerahi kita dengan rahmat-Nya, sehingga mampu menghindari kesalahan-kesalahan yang kerap kali menghinggapi mayoritas umat ini, amin. Hanya dengan keikhlasan, perenungan dan napak tilas Rasul, insya Allah kita mampu meng-up grade (naik kelas) puasa kita, wallaahu a’lam bis shawaab. (Ahmad
Rizal, Alumni STAIL, dan KMI Gontor-Ponorogo/Hidayatullah)

HARI AKHIR

HARI AKHIR

 1.  PENGERTIAN HARI AKHIR
Hari Akhir adalah hari kiamat yang  diawali dengan pemusnahan alam semesta ini dimana semua manusia semenjak dari nabiyullah Adam AS sampai terjadinya hari akhir akan dibangkitkan untuk mendapatkan balasan semua aktifitasnya.

2. URGENSI IMAN KEPADA HARI AKHIR
Iman kepada hari akhir adalah masalah yang esensial dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan iman kepada hari akhir secara benar kita terhindar dari tiga hal di bawah ini :
1.       Hidup di dunia seperti hewan yang tidak mengerti hikmah kejadiaannya.
2.       Tiadanya perhatian dan kepedulian kecuali hanya keduniaan semata-mata, berusaha dengan segala kemampuan untuk meraih kedudukan di sisi manusia dan melupakan akan pedihnya azab Allah SWT.
3.       Tidak sempurna Islam dan Iman seseorang tanpa meyakini kebenaran hari akhir.

3. BUKTI-BUKTI HARI AKHIR
Sekalipun peristiwa ini sangat mengherankan orang-orang kafir bahkan mereka mengingkari adanya kebangkitan dan segala peristiwa-peristiwa yang harus dijalani manusia . Asumsi mereka sangat keliru karena bukti-bukti hari akhir dapat dibuktikan secara syar’iyyah, ‘aqliyyah  dan indrawi.
1.       Bukti syar’iy (agama) (64:7)
2.       Bukti Indrawi. Telah diperlihatkan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan didunia ini :
·         Peristiwa pembunuhan yang dipermasalahkan oleh Bani Israil, dihidupkan kembali oleh Allah SWT hanya dengan perantaraan daging sapi yang dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh (2:72,73 )
·         Peristiwa Nabi Ibrahim dan burung-burung yang dicincangnya kemudia diletakkan ditiap-tiap bagian di atas bukit lalu Allah berfirman : “ Panggillah! Niscaya mereka datang kepadamu dengan segera” (2:260).
Pendapat ini menurut Ath Thobari Dan Ibnu Katsir.
3.       Bukti logika (aqliyah). Perhatikanlah lingkungan yang ada di sekitar Anda yang ada kalanya tanam-tanaman di sekitar Anda menguning, kering lalu mati. Setelah beberapa hari hujan turun kembali tumbuh dan menghijau seperti semula.

4. DALIL-DALIL YANG MEWAJIBKAN IMAN KEPADA HARI AKHIR
Al Qur’an kalamullah memberikan banyak dalil tentang adanya dan kebenaran hari akhir. Melalui sifat-sifat Nya  yang Maha Kuasa (Qudrat) sangatlah mudah mematikan, menghidupkan dan mengembalikan tubuh-tubuh yang berserakan, tulang-tulang yang remuk hancur untuk dikembalikan seperti semula (36:78,79/25:5-7/50:15/21:105/23:16)

5. PERHATIAN AL QUR’AN TERHADAP HARI AKHIR
Kalau kita memperhatikan Al Qur’an dengan seksama maka kita menemukan beberapa ayat yang mengandung persoalan hari akhir baik yang berhubungan langsung  dengan keimanan kepada Allah maupun oleh sebab-sebab lainnya.
Pertama, Yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah ( 2:62,177).
Kedua, oleh sebab-sebab lain (45:24)

6. NAMA-NAMA HARI AKHIR
Dalam Al Qur’an terdapat beberapa nama hari akhir :
1.       Hari Akhir (2:4 )
2.       Hari Pembalasan (1 :4 )
3.       Hari Ba’ats ( 30:56)
4.       Hari Kiamat (39:60)
5.       Hari Perhitungan (14:41)

7. HIKMAH IMAN PADA HARI AKHIR
Semua ciptaan Allah mempunyai hikmah karena Allah tidak menjadikan sesuatu sia-sia belaka tanpa guna dan hikamah. Di bawah ini beberapa hikmah iman kepada Hari Akhir :
1.       Adanya rasa kebencian yang dalam kepada kema’siatan dan kebejatan moral yang mengakibatkan murka Allah  di dunia dan di akhirat.
2.       Menyejukkan dan menggembirakan hati orang-orang mukmin dengan segala kenikmatan akhirat yang sama sekali tidak dirasakan di alam dunia ini.
3.       Senantiasa tertanam kecintaan dan ketaatan terhadap Allah dengan mengharapkan mau’nah Nya pada  hari itu.

8. PENGARUH IMAN KEPADA HARI AKHIR
Iman kepada hari akhir adalah masalah yang paling berat dari segala macam aqidah dan kepercayaan manusia, dari zaman purbakala sampai zaman moderen dikalangan pemikir dan filosof, karena eksistensi iman kepada hari akhir belum terlintas dipelupuk mata manusia, maka adakalanya diremehkan oleh sebagian manusia terutama mereka yang materialistis dan sekuleris. Maka dengan demikian iman kepada hari akhir mempengaruhi jiwa kepribadian manusia, seperti di bawah ini :
1.       Dengan iman kepada hari akhir senantiasa memotivasi untuk beramal kebajikan dengan ikhlas mengharap ridho Allah semata.
2.       Senantiasa pula membendung niat-niat yang buruk apalagi melaksanakannya.
3.       Menjauhkan diri dari asumsi-asumsi yang mengkiaskan  apa yang ada di dunia ini dengan apa yang ada di akhirat.

9. HAL-HAL YANG WAJIB DIIMANI SEHUBUNGAN DENGAN HARI AKHIR
Sehubungan terjadinya hari akhir, terdapat beberapa hal yang wajib pula diimani dan diyakini kebenarannya :
1.   Fitnah kubur,. Setelah manusia mengakhiri kehidupannya di alam dunia ini, selanjutnya ia akan menuju alam kubur, menanti sampai tibanya  hari kebangkitan. Dan sebagai gambaran alam ini Rasulullah SAW bersabda : “Alam kubur itu adalah taman dari sebagian taman-taman surga atau lubang dari lubang-lubang neraka. “ (HR Turmudzi dari Abu Said Al Khudri ).
2.   Kiamat dan tanda tandanya. Peristiwa hari kiamat diawali dengan beberapa tanda yang dilukiskan Al Qur’an pada banyak ayat (22:1,2/81:1-14/54:1/39:68/82:1-5/89:21-25/79:6-10).
3.   Kebangkitan. Setelah kiamat tiba saatnya manusia dibangkitkan dan peristiwa ini sangat mengherankan dikalangan orang-orang musyrik ( 34:7,8/17:49/56:47,48/22:5-7/46:33/36:77-83/50:1-15)
4.   Berkumpul. Setelah manusia dibangkitkan lalu dihimpun di padang mahsyar guna mempertanggungjawabkan perbuatannya ( 80:34-37/54:7,8/70:43/ 75:22-25/ 39:60/10:26-27/19:85,86/20:102-104/17:97)
5.   Perhitungan. Pada masa ini semua manusia menantikan keputusan hakim semesta alam, Hakim yang Maha Adil, mengadili dan memutuskan segala aktivitas manusia yang telah diperbuatnya di dalam dunia ini. Dan bagaimana pula keadaan manusia di hadapan Allah yang masa satu hari di akhirat sama dengan lima puluh ribu tahun di dunia ( 18:49/70:4-10/20:108- 111/ 15: 92-93/ 41: 19-24/ 6 : 130/ 69:19-37/ 17:13,14/3:30/23:62/84:7-12/36:35).

6.  Shirath (Jembatan ). Dan setelah selesai hari perhitungan tibalah saatnya manusia diberikan balasan aktivitasnya kemudian ditentukan jalan yang harus dilalui oleh setiap manusia sesuai dengan perbuatannya. Diantara mereka ada yang jatuh dari shirat menuju neraka Jahannam dan ada yang selamat sampai surga bersama dengan malaikat-malaikat abror (19:71,72). Dari Abu Hurairoh ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Lalu jembatan itu dibentangkan di atas jahannam maka aku dan umatkulah yang mula-mula melaluinya.” (HR.Buchari dan Muslim )

7.  Surga dan Neraka. Inilah yang terakhir yang wajib diimani sehubungan dengan hari akhir yang merupakan tujuan akhir dari perjalanan panjang semenjak kehidupan di dunia. Dan bagi mereka yang menyerahkan diri, perbutan, hidup dan matinya bagi Allah maka surgalah yang pantas baginya. Akan tetapi yang mengingkari semua ini dan menghambakan dirinya kepada selain Allah nerakalah tempat kembali yang pantas baginya. Na’udzu billahi min dzalik.
·         Sifat dan keadaan surga : (55:46-60/52:17,28/76:12-22/15:47,48).
·        Sifat dan keadaan neraka : (4:56/26:91-102/38:55-64/18:29/56:51-56/40:50).

Wallahu a’lam.

BID’AH DALAM AGAMA

BID’AH DALAM AGAMA

TUJUAN
Setelah mengikuti penjelasan  materi ini pemirsa diharapkan mampu :
1.       Mendefinisikan bid’ah dan mengartikannya
2.       Menunjukkan macam-macam bid’ah dalam agama
3.       Menunjukkan hukum perbuatan bid’ah
4.       Menunjukkan penyebab-penyebab lahirnya bid’ah
5.       Menunjukkan bahaya bid’ah bagi agama
6.       Menunjukkan dalil-dalil yang mencela bid’ah
7.       Menunjukkan cara menghindarkan diri dari bid’ah

POKOK-POKOK MATERI
a. Definisi
Menurut bahasa kata “bid’ah” berarti  segala sesuatu yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan menurut pengertian syar’iy bid’ah berarti :sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama tetapi dianggap sebagai bagian ajaran agama, biasanya dengan menambahkan atau mengurangi ajaran agama yang sudah ada. 
Ar Rabi’ meriwayatkan dari As Syafi’i yang mengatakan bahwa bid’ah itu ada dua macam, pertama sesuatu yang baru dan bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Kedua sesuatu yang baru dan tidak bertentangan dengan konsep sebelumnya.

b. Dalil-dalil
Dalil-dalil yang banyak membicarakan tentang bid’ah antara lain :
1.       Hadits Aisyah ra. Rasulullah bersabda “Hal yang mengada-ada dalam urusanku, yang tidak ada perintahku, maka hal itu akan tertolak”. Muttafaq alaih
2.       Hadits Jabir bin Abdullah, yang menceritakan bahwa pernah Rasulullah berkhutbah dan menyatakan :”Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Dan seburuk-buruk urusan adalah yang baru, dan setiap bid’ah adalah sesat” HR Ahmad.
3.       Hadits Irbadh ibn Sariyah yang menceritakan: Suatu hari Rasulullah SAW shalat bersama kami, lalu ia menghadapi kami dan menasehati kami dengan nasehat yang melelehkan air mata, menggetarkan hati. Berkatalah salah seorang dari kami: “Ya Rasulullah sepertinya ini adalah nasehat perpisahan, maka apa yang akan engkau pesankan untuk kami? Sabda Nabi: “Aku wasiatkan kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati kepada pemimpin kalian, meskipun ia adalah budak hitam. Maka sesungguhnya barang siapa yang akan hidup berumur panjang, pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka tetaplah kalian dalam sunnahku, sunnah khalifah rasyidin yang mendapatkan hidayah. Peganglah dan gigitlah dengan gigi taringmu. Dan waspadalah dengan hal-hal baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat”. An Nasa’iy menambahkan: “ dan setiap bid’ah akan masuk neraka.” HR Ahlussunan.

a.       Penyebab Lahirnya Bid’ah
Bid’ah dalam agama lahir disebabkan oleh banyak sebab. Secara global penyebab itu dapat dikategorikan dalam dua kelompok: penyebab intern dan ekstern.
1.       Penyebab-penyebab intern
  1. Ketidak tahuan terhadap Sunnah Nabi
  2. Keinginan untuk berbuat baik yang berlebihan
  3. Ketakutan kepada Allah yang berlebihan
  4. Mengikuti syetan
  5. Mencari dan mempertahankan kedudukan
  6. Adanya pendapat yang memperbolehkan taqlid (mengekor dalam beramal tanpa mengetahui dalil) 
  7. Pengalihan belajar Al Qur’an dan Sunnah pada pendapat ulama dan fuqaha (ahli fiqh).
  8. Syubhat (ketidak jelasan) antara bid’ah dan al mashalih al mursalah ( kebaikan yang tidak disebutkan dalam tekstual dalil syar’iy)
2.      Penyebab-penyebab ekstern
Penyebab ekstern munculnya bid’ah adalah rekayasa dari luar yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam seperti yang dilakukan kaum zindiq (kafir ateis) dengan menyebarkan pemikiran dan pemahaman yang merusak akidah dan konsep Islam, seperti pengkultusan kepada orang-orang shalih, atau penghentian pemberlakuan syariah Islam, sehingga umat Islam mencari alternatif syariah lainnya.
           
b.      Hukumnya
Secara umum bid’ah adalah perbuatan dosa yang haram dikerjakan. Hal ini dapat kita perhatikan dari dalil-dalil yang menerangkan tentang bid’ah sebagaimana tersebut di atas. Meski begitu tingkatan haramnya berbeda-beda sebagaimana tingkatan maksiyat yang lain.  
Hukum bid’ah dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu bid’ah kabirah (besar) dan bid’ah  shaghirah (kecil). 
1.      Bid’ah Shaghirah
Bid’ah Shaghirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah furu’iyyah (cabang), karena adanya syubhat (ketidak jelasan) dalil. Bid’ah ini akan terus kecil jika:
  1. tidak menjadi bentuk kebiasaan (mudawamah)
  2. tidak mengajak orang lain mengikutinya
  3. tidak melakukannya di tempat umum, atau tempat pelaksanaan sunnah mu’tabarah (diakui)
  4. tidak dianggap remeh.
2.      Bid’ah Kabirah
Bid’ah Kabirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah-masalah pokok, tidak pada masalah furu’iyyah, pelakunya diancam dengan ancaman Al Qur’an maupun As Sunnah. Sebagaimana tingkatan bobot yang ada dalam dosa besar, begitu juga perbedaan tingkatan dalam bid’ah kabirah. Bahkan ada yang membuat pelakunya menjadi kufr.

c.       Macamnya
Macam bid’ah dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok  berikut ini :
1.      Bid’ah Haqiqah (asli)
Bid’ah Haqiqah adalah sesuatu yang baru dan sama sekali tidak ada dalil syar’inya, baik dalam Al Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Tidak ada istidlal (petunjuk dalil) yang digali oelh para ulama mu’tabar.

2.      Bid’ah Idlafiyyah (tambahan)
Bid’ah Idlafiyyah adalah sesuatu yang secara prinsip memiliki dasar syar’iy, tetapi dalam penjelasan dan operasionalnya tidak berdasar dalil syar’iy.
  1. Dari sisi waktu seperti :shalat, raghaib, shalat nisfu sya’ban. Secara prinsip shalat malam diajarkan dalam agama, tetapi pembatasan waktu dan kerangka tertentu inilah yang tidak ditemukan dalil syar’inya.
  2. Dari sisi penyimpangan prinsip, seperti Talhin (lagu) dalam adzan. Adzannya sendiri diajarkan dalam agama, tetapi melagukan adzan dalam nada tertentu menjadi bid’ah
  3. Dari sisi sifat pelaksanaan, seperti : mengeraskan dzikir dan bacaan Al Qur’an di hadapan jenazah. Dzikir dan tilawah Al Qur’an adalah ibadah yang masyru’, tetapi pelaksanaannya di hadapan jenazah menjadi lain.
Penolakan pada bid’ah kelompok ini adalah sikap penolakan pada kaifiyah (cara), bukan pada prinsipnya.

3.      Bid’ah Tarkiyyah (meninggalkan)
Bid’ah Tarkiyyah adalah sikap meninggalkan perbuatan halal dengan menganggap bahwa sikapnya itu tadayyun (kesalihan beragama). Sikap ini bertentangan dengan konsep syari’ah secara umum. Seperti yang pernah diajukan oleh tiga orang yang bertanya tentang ibadah Nabi, lalu masing-masing dari tiga ini berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang halal dengan tujuan agar lebih shalil dalam beragama. Sehingga keluar pernyataan Nabi: …barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari ummatku”. Muttafaq alaih

4.      Bid’ah  Iltizam dengan Ibadah Muthlaqah (mewajibkan diri dengan ibadah yang bebas )
Bid’ah Iltizam adalah pembatasan diri pada syari’ah yang mutlak, dengan waktu atau tempat tertentu. Syari’ah yang mutlak itu bisa berupa ucapan, perbuatan. Seperti bershalawat Nabi, dsb. Secara prinsip bershalawat diajarkan agama dan diperintahkan untuk banyak melakukannya, kecuali yang dibaca pada shalat. Bid’ah dalam hal ini muncul ketika ada pembatasan waktu atau tempat tertentu, tidak bisa dilakukan di luar waktu atau tempat yang telah ditentukan itu.
Imam Hasan Al Banna memandang bid’ah selain bid’ah haqiqah, tidak termasuk dalam bid’ah prinsip yang menyesatkan, akan tetapi lebih merupakan keberagaman ijtihad dalam masalah furu’iyyah. Ada dalil prinsip yang menjelaskan pokok masalah, lalu muncul ijtihad dalam penerapan dan pelaksanaannya. 

d.      Bahaya Bid’ah
Tersebarnya bid’ah dalam kehidupan umat akan berakibat buruk  dan akan memperlemah umat.  Akibat yang ditimbulkan antara lain :
1.       Memperlemah iman umat, karena bid’ah lebih mendasarkan pada hawa nafsu, bukan pada wahyu Allah.
2.       Menyebarkan taqlid (mengekor  tanpa mengenali dalil), karena biasanya bid’ah lebih cocok dengan hawa nafsu, bukan dengan dalil syar’iy. 
3.       Tergusurnya/punah sunnah-sunnah Rasulullah, sehingga Islam tidak dikenali lagi kecuali namanya saja. 

e.      Cara Menghadapinya
            Menghadapai bid’ah yang menyesatkan ini, kita wajib melakukan sesutu untuk menghentikannya. Cara efektif dalam menghadapi bid’ah adalah lewat bentuk-bentuk pengingkaran/penolakan dengan hikmah (bijak), bashirah (ketajaman mata hati), dialog yang sehat dan metode-metode lain yang tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar dari yang hendak dihapuskan. 
Metode efektif menghadapi bid’ah adalah metode yan dapat diukur tingkat pencapaiannya dengan biaya yang paling ringan dan korban yang paling minimal. Sarana dan cara menghadapi bid’ah  tidak baku dan kaku, tetapi berkembang sesuai dengan situasi, ruang dan waktu  bid’ah itu muncul.
Rasulullah saw telah memberikan teladan dalam menghadapi bid’ah dengan hikmah dan bashirah agar tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar lagi. Dalam ruang dan waktu yang berbeda diperlukan sikap yang berbeda. Rasulullah membedakan sikapnya dalam menghadapi bid’ah di Makkah, di Madinah dan di Makkah seusai Fathu Makkah. Hal ini bisa kita lihat dari  sikap Nabi terhadap berhala yang ada di sekitar Ka’bah, antara sebelum hijrah dan sesudah fathu Makkah. Dan  adakah yang lebih bid’ah dibandingkan dengan berhala di sekeliling Ka’bah?   

Wallahu a’lam

BERBEDA PENDAPAT DALAM KORIDOR ISLAM

BERBEDA PENDAPAT DALAM KORIDOR ISLAM

TUJUAN
Setelah mengikuti penjelasan materi ini, pemirsa diharapkan mampu :
1.       Menunjukkan perintah Allah untuk senantiasa bersatu dan tidak berselisih pendapat
2.       Menunjukkan alasan kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
3.       Mengungkapkan bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah sunnatullah
4.       Menunjukkan jenis-jenis perbedaan dalam beragama
5.       Membedakan perbedaan yang terpuji dan perbedaan yang  tercela
6.       Menunjukkan adab dalam perbedaan pendapat

POKOK-POKOK MATERI
1.       PESAN PERSATUAN
Allah SWT menyerukan  umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham  dalam menegakkan syari’ah-Nya (QS. 3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar  tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)

2.       KEMUNGKINAN PERBEDAAN
Perbedaan dalam alam semesta adalah sunnatullah yang membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan warna membuat kehidupan menjadi indah, kita tidak akan dapat mengetahui putih jika tidak pernah ada hitam, merah, hijau dan warna lainnya. Kita tidak akan dapat bekerja dengan baik jika jari-jari tangan kita ukuran dan bentuknya sama, seperti telunjuk semua misalnya, atau kita akan kesulitan mengunyah makanan jika bentuk gigi kita semuanya sama, taring semua misalnya, dst. Demikanlah harmoni kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan fungsinya. Perbedaan pada wasa’ilulhayat (sarana hidup).
Permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup). Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan ketika terjadi pada dzatuddin (esensi agama). Firman Allah : “ Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” QS. 40:13, atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an, AS Sunnah, maupun Ijma’. Sebab prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an, As Sunnah maupun Ijma’ adalah esensi dasar dari ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW dengan ajaran para Nabi sebelumnya (QS. 29: 69, 5:15-16, 2:208), kemudian perbedaan tanawwu’ (penganeka ragaman) dalam pelaksanaan  syari’ah, antara wajib atau sunnah. Wajib ain atau kifayah, dst.
Dengan demikian perbedaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berikut ini:
1.       Perbedaan pada Dzatuddin (esensi) dan Ushul (dasar-dasar) prinsipil. Perbedaan inilah diisyaratkan Allah :
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu”. QS. 11: 118-119
Inilah perbedaan yang menghasilkan perbedaan agama seperti , Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk itulah Allah utus para Nabi dan Rasul untuk menilai dan meluruskan mereka. Firman Allah :
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” QS 2:213

2.       Perbedaan umat Islam pada Qaidah Kulliyah (kaidah umum). Perbedaan ini muncul setelah terjadi kesepakatan pada dasar prinsipil agama Islam. Perbedaan pada masalah inilah yang dapat kita fahami dari hadits Nabi yang memprediksikan terjadinya perpecahan hingga tujuh puluh tiga golongan. Perbedaan ini lebih terjadi pada minhaj (konsep) akibat infiltrasi ajaran Agama dengan konsep lainnya. Seperti akibat infiltrasi konsep Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb. Rasulullah memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah (benar), sunnah dan bid’ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah, Qadariyah,  Rafidhah, dsb.

3.       Perbedaan pada Furu’iyyah (cabang). Perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-masalah dasar prinsipil dan  kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu’ (cabang) syari’ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya. Al Hasan pernah ditanya tentang ayat :” …mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah …”QS 11: 118-119, ia katakan : “adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya.
Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59)
Maka perbedaan apapun yang muncul dalam tataran aplikasi/furu’iyyah harus dikembalikan kepada kitab Allah, dan rasul-Nya semasa hidup atau kepada  Sunnahnya setelah rasul wafat.
Porsi perbedaan ini dilakukan oleh para Fuqaha (ahli fiqh) dalam persoalan furu’iyyah setelah terjadi kesepakatan pada masalah ushul. Al Baghdadiy, mengatakan : “ Siapapun yang mengidentikkan diri dengan Islam, menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan yang tercela (sebagai ahlunnar dari 73 golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam masalah furu’iyyah fiqh. Untuk menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah fiqh saja terdapat dua alur:
  1. pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid dalam masalah fiqh, atau dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu’iyyah adalah “semua benar”
  2. pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya tidak tersesat.
Sampai di sini dapat kita fahami pandangan Imam Syahid Hasan Al Banna yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan) fiqhiy dalam masalah-masalah furu’iyyah tidak boleh menjadi sebab perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Setiap mujtahid telah memperoleh balasannya.  Sabda Nabi : “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala”. 

3.       MENYIKAPI PERBEDAAN
Perbedaan dalam masalah ijtihadiyyah diakui dalam syari’ah samawiyah (agama samawiy) terdahulu seperti yang terjadi antara Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud dalam masalah tanaman yang dimakan kambing seperti yang diceritakan pada surah Al Anbiya/21:78 dst. Pada kasus ini Nabi Dawud memutuskan bahwa pemilik kambing harus membayar ganti rugi sebesar nilai kerusakan, dan ternyata harga kambing senilai kerusakan. Maka kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun. Berbeda dengan Nabi Sulaiman yang memutuskan agar kambing diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil manfaatnya (susu dan bulu), sedang ladang diserahkan kepada pemilik kambing untuk dirawat, dan masing-masing akan mendapat miliknya kembali setelah klop. Allah memilih ijtihad Nabi Sulaiman, akan tetapi hal ini tidak akan mengurangi derajat Nabi Dawud di sisi Allah, karena masing-masing telah diberi kelebihan hikmah dan ilmu. Dan masing-masing adalah mujtahid yang mengambil keputusan setelah berfikir mendalam.
Dalam Islam kejadian serupa pernah pula terjadi, seperti ijtihad Rasulullah pada peristiwa qath’ulliynah (penebangan pohon kurma, QS. 59:5), tebusan tawanan perang Badr ( QS. 8:67) dsb.
Demikian juga Rasulullah SAW menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat, dengan memberikan pembenaran kepada mereka yang berbeda pendapat dalam ijtihad aplikatif. Seperti perbedaan pendapat dua sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah, antara yang shalat ashar di tengah perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di tempat tujuan setelah lewat waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat yang berbeda pendapat tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air. Kemudian sebelum habis waktu shalat, mendapati air. Ada yang mengulang dan ada yang tidak.
 Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :” Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah (para pemimpin) yang menjadi teladan, siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah”.
Ketika Abu Ja’far Al Mansur hendak menjadikan umat hanya berkiblat pada Al Muwattha’nya Imam Malik rahimahullah. Kata Imam Malik : “ Jangan kamu lakukan  wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka fahami ”
Dari penjelasan di atas, maka perlu dirumuskan adab yang harus dipegang oleh setiap mujtahid dalam melakukan penelitian masalah khilaf far’iy sebagaimana yang pernah ada pada sahabat dan para pengikutnya. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari perdebatan dan fanatisme aliran.
 
4.       ADAB BERDISKUSI DAN BERBEDA PENDAPAT 
Ketika diskusi dijadikan sebagai salah satu cara efektif dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan syarat dan adab dalam berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam penelitian dapat terealisir. Adab itu ialah :
1.       Tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar’iy. Ada ulama yang mengatakan :”Barang siapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta”
2.       Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para salaf hanya mendiskusikan sesuatu yang  terjadi atau mungkin terjadi.  
3.       Dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran. Sedang dalam forum terbuka akan mendorong kecenderungan riya’ atau semangat mengalahkan lawan, benar atau salah.
4.      Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang teman bicara sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus dikalahkan. Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan kebenaran. Umar bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu ditegur oleh seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar : “Betul wanita itu dan Umar salah”. As Syafi’iy berkata:  “ Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan keluar darinya”   
5.       Tidak menghalangi fihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu probelem ke problem lain.
6.       Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil ilmunya.
Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan Ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisir.  
Wallahu a’alm.

Bagaimana Anda Berkurban ?

Bagaimana Anda Berkurban ?


(Al Balagh Ed.72/Th.II/8 Dzulhijjah 1427 H)

Pada prinsipnya, berkurban itu hanya disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya, mereka berkurban atas nama diri mereka dan keluarga mereka.
Adapun apa yang dikira oleh sebagian orang awam bahwa berkurban hanya bagi orang yang sudah mati saja, adalah tidak ada dasarnya. Berkurban atas nama orang yang sudah mati ada tiga macam:

Pertama: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati dengan diikutkan kepada orang yang masih hidup. Seperti: bila seseorang berkurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Dasarnya: kurban yang dilakukan oleh Rasulullah  atas nama diri beliau dan ahli baitnya, padahal diantara mereka ada yang sudah mati.

Kedua: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati, untuk melaksanakan wasiatnya. Dasarnya: “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 181)

Ketiga: Menyembelih kurban dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah mati; hal ini boleh. Dan para fuqaha’ madzhab Hambali telah menegaskan bahwa pahalanya sampai kepada orang yang sudah mati dan bermanfaat baginya, dikiaskan kepada sedekah untuk orang yang sudah mati.  Namun, kami tidak berpandangan bahwa mengkhususkan kurban untuk orang yang sudah mati termasuk sunnah, karena Nabi tidak pernah berkurban khusus atas nama orang yang telah mati; tidak pernah berkurban atas nama paman beliau Hamzah, padahal dia adalah orang yang paling dihormatinya, tidak pernah pula berkurban atas nama anak-anaknya yang sudah mati lebih dahulu, dan tidak pernah pula berkurban atas nama istrinya Khadijah, padahal dia istrinya yang tercinta. Tidak pernah juga diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat, semasa beliau, menyembelih kurban atas nama seseorang dari kerabatnya yang sudah mati.Dan kami berpendapat bahwa tidak benar apa yang dilakukan sebagian orang, yaitu: menyembelih kurban setahun setelah wafatnya seseorang dengan meyakini bahwa tidak boleh ada orang lain yang disertakan dalam pahalanya; atau menyembelih binatang sebagai sedekah bagi orang yang sudah mati, atau berdasarkan wasiatnya, sementara mereka tidak menyembelih kurban atas nama diri mereka sendiri dan keluarganya. Andaikata mereka tahu bahwa apabila seseorang menyembelih kurban dari harta kekayaannya atas nama dirinya sendiri dan juga keluarganya telah mencakup keluarganya yang hidup maupun yang telah mati, niscaya mereka tidak berpaling dari sunnah ini kepada perbuatan mereka itu.

LARANGAN BAGI ORANG YANG HENDAK BERKURBAN                
Jika seseorang berniat hendak berkurban dan telah masuk bulan Dzulhijjah, maka dilarang baginya mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku, atau kulitnya sampai dia menyembelih binatang kurbannya. Karena diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa Nabi telah bersabda: “Apabila telah masuk sepuluh hari bulan Dzulhijjah dan seseorang di antara kamu hendak berkurban; maka supaya menahan diri terhadap rambut dan kukunya.” (HR. Imam Ahmad dan Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan; “Maka jangan menyentuh sesuatu dari rambut atau pun kulitnya sehingga ia menyembelih binatang kurbannya.”     Dan jika berniat menyembelih kurban di antara sepuluh hari tersebut, hendaklah ia menahan diri dari larangan tersebut mulai saat berniat. Sedangkan apa yang telah dicabut atau dipotongnya sebelum itu, maka tidak apa-apa.   

Adapun hikmah dalam larangan ini, bahwa orang yang berkurban karena mengikuti jama’ah haji dalam sebagian amalan manasik, yaitu bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih kurban maka ia pun mengikutinya dalam sebagian larangan ihram, yaitu: dengan menahan diri dari memotong rambut dan lain-lainnya. Karena itu, diperbolehkan bagi keluarga orang yang hendak menyembelih kurban untuk mencabut atau memotong rambut, kuku dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Hukum ini khusus bagi orang yang hendak menyembelih kurban saja. Sedang keluarganya atau orang yang menjadi wakilnya, tidak ada kaitannya dengan larangan ini. Karena Nabi bersabda: “Dan seseorang diantara kamu hendak berkurban...”, beliau tidak mengatakan: “... atau orang-orang yang diwakilinya dalam berkurban”; dan karena Nabi ketika menyembelih kurban atas nama keluarganya tidak disebutkan bahwa beliau menyuruh mereka juga untuk menahan diri dari larangan tadi. Apabila orang yang hendak menyembelih kurban mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku atau kulitnya; maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah l dan tidak mengulanginya lagi. Tidak ada kafarat (denda) yang harus dibayarnya dan tidak pula menghalanginya untuk melaksanakan kurbannya, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam.     Kalaupun dia mencabut atau memotong sesuatu dari hal-hal tersebut karena lupa, atau tidak tahu, atau karena memang terlepas tanpa sengaja, maka tidak apa-apa. Namun jika memerlukan untuk dicabut atau dipotong; seperti karena terkoyak kukunya sehingga merasa sakit dan perlu dipotong, atau rambutnya masuk ke mata dan perlu dicabut, atau rambutnya perlu dipotong untuk pengobatan luka dan semisalnya; maka dalam keadaan seperti ini boleh dia melakukannya dan tidak apa-apa.

Disarikan dari:  Talkhis Kitab Ahkamul Udhiyah Wadz-Dzakah
Oleh:  Syaikh Muhammad bin Sha1eh Al ‘Utsaimin.

Aqidah Islam Jalan Lurus Mencapai Kebahagian

Aqidah Islam
Jalan Lurus Mencapai Kebahagian

(Al Balagh Ed.24 Dzulqa'dah1427 H)
Siapapun orang di kalangan kaum muslimin pasti pernah mendengar kata ‘aqidah’. Di berbagai kesempatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat keagamaan perkataan ini sering terucap. Bahkan para ustadz, kiyai dan da’i menyatakan bahwa aqidah merupakan pondasi bangunan Islam.
Apa sebenarnya faedah dan keutamaan dari aqidah Islam itu ? tulisan berikut akan sedikit mengulas tentang hal tersebut.

Bilal adalah seorang budak hitam milik seorang qurays yang bernama Umayah. Ketika terbit cahaya Islam, Bilal merupakan salah seorang yang Allah beri hidayah untuk merasakan cahaya Islam tersebut. Beliau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Kian hari semakin kokoh dan subur benih Islam di hati beliau. Sampai suatu ketika tuan beliau yang masih kafir mengetahui keislaman beliau dan murka. Bilal dipaksa untuk kembali kepada kekafiran dan beribadah kepada beragam sesembahan yang ada.

Iman yang bersemayam di hati Bilal membuatnya tegar menghadapi berbagai siksaan yang luar bisa kejamnya. Bilal disiksa dengan dijemur di tengah terik matahari padang pasir, ditindih tubuhnya dengan batu besar dan disiksa dengan berbagai siksaan lain yang luar biasa kejam. Namun di saat diuji dengan siksaan itu, hati beliau merasakan sejuknya sebuah keimanan, sehingga terlontar dari mulut beliau yang mulia....Ahad (Allah Maha Esa)...Ahad...        Kita akan terheran, dan mungkin akan segera bertanya mengapa Bilal dan para sahabat yang lain begitu tegarnya menghadapi ujian, intimidasi dan siksaan yang seberat itu ? Jawabnya adalah, karena mereka telah mendapatkan sebuah kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang tidak banyak dipahami oleh kebanyakan orang. Karena umumnya manusia menyatakan bahwa bahagia itu adalah kekayaan yang melimpah, rumah indah, kendaraan mewah dan terpenuhinya segala fasilitas keduniaan. Memang itu semua adalah pendukung kebahagiaan di dunia, namun dalam dataran kehidupan, kita banyak menemukan orang yang telah terpenuhi segala materi dunianya tetap saja merasakan kesumpekan hidup, tidak tenang, stress, bahkan tak jarang mengakhiri kehidupannya dengan bunuh diri... naudzubillah min dzaalik. Inikah kebahagiaan ?                      

Mungkin ada pula yang akan berkata, kalau demikian bahagia itu harus meninggalkan urusan dunia, hidup miskin, mengembara, tidak usah punya isteri dan keluarga atau………...? Itu juga bukan sebuah kebahagiaan yang benar, karena kebahagiaan bisa dinikmati oleh si kaya maupun si miskin, tua atau muda dan segala kalangan.             

Berkaitan dengan hal ini para ulama mendefinisikan, kebahagiaan adalah  ketenangan hati, lapangnya dada, dan merasa cukup dengan pemberian Allah. Itulah kebahagiaan, dan segalanya hanya bisa diraih dengan keimanan yang benar, sebagaimana sabda Nabi .shallallaahu alaihi wasallam “Sungguh mengherankan perkaranya orang mukmin, karena setiap perkaranya akan baik baginya, apabila dia mendapatkan kenikmatan maka dia bersyukur dan itu baik bagi dia, dan apabila ia mendapatkan musibah maka ia bersabar maka itupun baik bagi dia” (HR Bukhari).               

Inilah peran sebuah keimanan atau aqidah yang benar, yang mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Dunia memang tidak pernah sepi dari kesedihan dan kesenangan, kemudahan dan kesukaran. Menghadapi hal tersebut seorang insan muslim yang beraqidah lurus akan selalu tegar menghadapi goncangan badai kehidupan. aneka ragam musibah, seperti kekurangan harta, kekurangan jiwa (kematian anak atau keluarga), kekurangan bahan pangan, pakaian atau ancaman, insya Allah akan mampu diatasi dengan ketegaran. Di dalam hatinya dipenuhi rasa harap kepada Allah, ketergantungan kepada Allah, tawakkal, sabar , dan ridha terhadap ketentuan Allah. Tak goyah imannya dengan ujian-ujian tersebut bahkan semakin kokoh, mendorongnya untuk lebih mendekat kepada Allah dan mengikhlaskan doa hanya kepadaNya semata. Ia mengaplikasikan sabda Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam “Apabila engkau meminta mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi).             

Maka disaat itulah bertambah ketenangan dan kebahagiaan di dalam hatinya, yang kebahagiaan itu tak dirasakan oleh mereka yang tak kenal akan Tuhannya. Ia pun yakin akan firman Allah : “Apabila Allah menimpakan bahaya kepadamu maka tidak ada yang mampu mengangkatnya kecuali Dia.” (QS Al An ‘am). Hal tersebut di atas berbeda dengan mereka yang lemah aqidah dan imannya. Ujian yang datang sering membuat goncang, putus asa, mengumpat takdir atau terkadang lari kepada hal-hal yang lemah seperti meminta bantuan paranormal atau jin. Insan yang beraqidah lurus akan menjadi pribadi yang penuh dengan keindahan. Hal ini karena jelasnya tujuan hidup yang ia miliki, hendak kemana, untuk apa dan mengapa dia hidup di dunia. Maka jelaslah arah perjalan dia, sangat pasti ia melangkah dan tak ragu-ragu untuk menapak kehidupan. Ia sangat paham dengan tujuan hidup dia…….                

“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS Adz dzariyat : 56).                                                        

Maka, penggalian nilai-nilai kesempurnaan Islam yang diawali dengan aqidah adalah hal yang tak tertawarkan lagi.
Mari kembali kepada Islam... !
Wallallahu a’lam bish shawab

AL-WALAA’ WAL BARAA’ ; SEBUAH KEHARUSAN

AL-WALAA’ WAL BARAA’ ; SEBUAH KEHARUSAN(Al Balagh Ed.71 Th.II/1427 H)

Bulan Desember dan dua bulan sesudahnya adalah bulan yang di dalamnya banyak terdapat beberapa hari raya orang kafir. Hari Natal, tahun baru masehi, Imlek, dan Valentine day. Konyolnya, kaum muslimin yang mayoritas di negeri ini, ikut latah meramaikannya, bergembira dengan hari-hari tsb, bahkan tidak sedikit yang ikut merayakannya. wallahul musta’an.   
Fenomena kacoe-kacoe (ikut-ikutan) ini adalah salah satu bukti betapa minimnya pengetahuan kaum Muslimin terhadap agamanya. Sebab andai mereka tahu kemuliaan Din ini mereka pasti berlepas diri dari semua itu. Andai  mereka tahu bahwa konsekuensi kalimat laailaaha illallah adalah tidak ikut latah menyemarakkan hari raya kekufuran, maka pasti mereka tidak terjerumus di dalamnya, pada hal Allah telah memberi kita dua hari raya yang jauh lebih mulia. Pembaca yang budiman…pada edisi kali ini al-Balagh akan mengangkat tema al-walaa’ dan al-baraa’ yang merupakan kandungan kalimat tauhid laailaaha illallah. Selamat menyimak…

Pengertian Dan Kedudukan al-Walaa’ dan al-Baraa’
Walaa’ adalah masdar dari kata kerja “walaya” yang artinya dekat. Dan yang dimaksud  dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai, membantu dan menolong mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya serta bertempat tinggal dengan mereka. Sedangkan al-baraa’ adalah masdar dari baraa’ah yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya adalah memutus hubungan dengan musuh atau memutus ikatan hati dengan orang kafir.

Di antara kandungan kalimat Tauhid adalah mencintai orang yang telah mengucapkan kalimat itu, serta memutuskan hubungan dengan orang-orang yang menyalahiNya. Allah ta’al berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,RasulNya dan orang-orang beriman, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat seraya tunduk kepada Allah. Dan siapa yang mengambil Allah, rasuNya, dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka pengikut agama Allah itulah yang akan menang” (Qs.al-Maaidah:55-56)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas-radhiyyallahu’anhuma-: “Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi walaa karena Allah dan memusuhi karena Allah. Maka sesungguhnya kewalian dapat diperoleh dengan itu. Dan seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman sekalipun banyak shalat dan berpuasa sampai ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum  bahwa persaudaraan manusia berdasarkan kepentinga duniawi yang demikian itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi para pelakunya” (HR.Thabrani dalam al-Kabir)

Hukum Menyambut dan Merayakan  Hari Raya Orang Kafir
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari dari al-baraa’ adalah menjauhi syi’ar-syi’ar  ibadah mereka, sedang syiar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka kaum muslimin berkewajiban menjauhinya dan meninggalkannya. Demikian juga, dilarang menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan atau hari sekolah, masak-masak dalam rangka merayakannya. Termasuk di dalamnya menggunakan kalender masehi. Dengan demikian dianjurkan kaum muslimin untuk menggunakan penanggalan hijriyah.

Syaikhul Islam Ibnu  Taimiyah berkata: “tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabbuh dengan mereka dalam hal yang khusus bagi hari raya mereka seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan hari kerja dan yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri, memberi hadiah, menjual barang guna yang diperlukan untuk hari raya. Tidak halal mengizinkan anak-anak melakukan permainan hari itu. Ringkasnya tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas hari raya mereka”
Demikian juga kita dilarang mengucapkan selamat (tahni’ah) atau ucapan belasungkawa (ta’ziyah), sebab itu berarti memberi walaa’ dan mahabbah (kecintaan) kepada mereka.
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “…jika bertahni’ah  dengan syi’ar-syi’ar  kufur  yang khusus menjadi milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan,”selamat hari natal” atau “berbahagialah pada hari ini raya ini” atau yang senada dengan itu, maka kalaupun ia selamat dari kekufuran, ia tidak bisa lepas dari kemaksiatan dan keharaman. Sebab itu sama saja dengan memberi ucapan selamat atas sikap mereka yang menyembah salib”.  Selanjutnya beliau mengatakan, “maka barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran maka ia telah memantik murka Allah…”

Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa memberi ucapan selamat, bergembira dengan hari raya orang kafir dilarang karena yang demikian menunjukkan kerelaan kepada agama mereka.
Allah Ta’ala berfirman tentang sikap Nabi Ibrahim-alaihissalam-:”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu pada) Ibrahim dan orang-orng besertanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian  dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah nampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah” (QS.al-Mumtahanah: 4)
Wallahu Ta’alaa A’laa Wa A’lam
Sumber: Kitab Tauhid, Dr. Shalih Fauzan al-Fauzan (dengan disertai sedikit perubahan)

AL-QURAN DAN AS-SUNNAH RUJUKAN MUSLIM

Mukadimah

Seorang muslim yang telah meyakini kebenaran Islam, ia harus mengembalikan seluruh dimensi kehidupannya dalam rengkuhan nilai-nilainya yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Keduanya harus dijadikan referensi utama dalam cara berfikir, cara mengambil keputusan dan cara bertindak. Karena Al-Quran dan As-Sunnah inilah merupakan sumber petunjuk yang mampu membimbing manusia muslim ke jalan yang benar.

“Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.” (QS 20:2)

“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS 17:9)

“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Lihat Arba’in Nawawi)

“Bagi setiap amal itu ada masa semangat (puncaknya, dan bagi setiap masa semangat itu ada masa lemah (malas). Barang siapa yang tetap mengikuti sunnahku di masa lemahnya, sungguh ia akan memperoleh petunjuk. Dan barang siapa yang mengikuti selain sunnahku pada masa lemahnya niscaya ia akan binasa.” (HR Ibnu Hibban dan Ahmad)

Dan apabila ada manusia muslim yang berpegang teguh pada konsep-konsep selain Al-Quran dan As-Sunnah dalam menata kehidupannya, niscaya ia akan menyimpang dari jalan yang sebenarnya. Ia akan sesat, terombang ambing dalam dunia maya yang tidak menentu dan akhirnya terjebak dalam jaring hawa nafsu yang menyesatkan.

“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (QS 2:15)

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku(Al-Quran), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".(QS 20:124)

 “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan  kamu  khalifah (penguasa) di muka bumi,  maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan haq (kebenaran dan adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari  jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat  azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS 38:26)
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna berkata: “Al-Quran dan As-Sunnah merupakan referensi utama bagi setiap muslim dalam mengenal (memahami) hokum-hukum Islam.”


KORELASI ANTARA PRINSIP PERTAMA DAN KEDUA

Prinsip ini sangat kuat berkaitan dengan prinsip sebelumnya yaitu tentang syumuliatul Islam (universalitas dan integralitas Islam) dalam setiap dimensi kehidupan. Dan prinsip ke dua ini, menegaskan al-mashdar (sumber) yang di mana darinya kita menggali seluruh hokum yang mengatur setiap dimensi kehidupan Islam tersebut.

Dan hanya kepada kedua sumber ini, seluruh ummat Islam harus kembali. Mereka harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang ada dalam dua sumber ini dalam kisi-kisi kehidupannya. 


Dan Al-Quran harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Arab tanpa dengan takalluf (susah payah/memberatkan) dan ta’assuf (serampangan/ seporadis). Dan dalam memahami As-Sunnah  Al-Muthoharah harus dikembalikan kepada Rijalul hadits (Ahli/pakar hadits) yang terpercaya.”

DALIL-DALIL TENTANG PRINSIP INI

Adapun dalil-dalil yang menegaskan bahwa setiap muslim harus kembali kepada dua sumber hokum yaitu, Al-Quran dan Al-Hadits sangatlah banyak. Di antaranya adalah;

“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS 4:59)

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”(QS 16:89)

“…Dan apa yang dibawaRasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS 59:7)

Dan di antara hadits-hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan ini adalah;

“Bagaimana kamu (Mu’adz bin Jabal) menghukumi apabila datang kepadamu masalah hokum?, Ia berkata: “Aku akan menghukumi dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi: “Maka apabila kamu tidak menemukannya dalam Kitab Allah?”, Ia menjawab: “Maka (Aku menghukumi) dengan Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya kembali: “Maka apabila kamu tidak menemukannya dalam sunnah Rasulullah saw dan Kitabullah?” Ia berkata: “Aku akan berijtihad sesuai dengan pendapatku dan aku tidak akan menyimpang.” Kemudian Rasulullah saw meletakkan tangan ke dadnya seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Utusannya Allah terhadap sesuatu yang diridloi Rasulullah.”

“Siapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang dahsiat. Oleh karena kalian harus mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi taringmu.” (HR Abu Dawud)

Imam Al-Auzai berkata: “Bersabarlah mengikuti Sunnah, berhentilah di mana kaum Slaf berhenti, katakanlah apa yang mereka katakana, jauhilah apa yang mereka jauhi, ikutilah jaln para pendahulumu yang saleh, karena apa yang cukup bagi mereka akan cukup bagimu.”

Imam Sufyan berkata: “Tidak diterima suatu perkataan kecuali disertai amal, dan tidaklah  lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat dan tidak lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”

Di dalam penentuan dan penggalian hokum-hukum Islam, selalu mengacu kepada dalil-dalil syar’iah baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Dan di dalam prinsip ini, Imam Syahid hanya menyebutkan dua sumber dari dalil-dalil qot’iah lainnya dikarenakan beberapa sebab berikut ini;

Pertama, Ia ingin menghimpun hati-hati umat dalam jalan yang telah disepakati, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Adapun dalil Ijma’ dan Qias ada sebagian Ulama yang memperselisihkan. Dan dalil-dalil yang lain seperti ‘Urf, Istihsan, Mashalih Al-Mursalah dan yang lainnya merupakan ajang perdebatan para Ulama.

Kedua, Sesungguhnya dalil-dalil yang lain, Al-Quran dan As-Sunnahlah yang mengisyaratkan kepadanya. Oleh karena itu merasa cukup dengan keduanya adalah merasa cukup dengan asal tanpa mengingkari dalil-dalil yang lain bagi yang menggunakannya.
Imam Asy-Syathibi berkata: “Sesungguhnya dalil-dalil itu ada dua macam yaitu naqliah dan aqliah. Dan ketika melakukan analisa lebih jauh lagi kita sampai sebuah konklusi bahwa dalil-dalil syar’iah hanya terangkum dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena dalil-dalil yang tetap itu tidak mungkin tertumpu pada akal. Akan tetapi hanya bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. …Keduanya merupakan sumber utama dan tempat bersandarnya hokum-hukum yang ada…” (Al-Muwafaqat, Asy-Syatibi 23/42)

Methodologi Memahami Al-Quran

Untuk memahami Al-Quran, seorang muslim harus kembali kepada kaidah-kaidah Bahasa Arab dengan tanpa takalluf (menyulitkan/bicara tentang hal yang tidak berfaedah) dan ta’ssuf (berjalan tanpa ilmu pengetahuan dan petunjuk/ sporadis ). Tentunya setelah tidak ditemukan penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, atau dengan Al-Sunnah, atau perkataan para sahabat dan atau ucapan para tabi’in. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa firman Allah berikut ini;

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS 12:2)

“Dan  sesungguhnya  Al  Qur'an  ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,
dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
dengan bahasa Arab yang jelas”.(QS 26:192-195)

Oleh karena itu, Islam mengingatkan umatnya untuk tidak memahami Al-Quran hanya bersandarkan kepada akal atau pendapatnya sendiri. Rasulullah saw bersabda: “Barang siap yang bicara tentang Al-Quran dengan pendapatnya sendiri atau dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya (kembalinya) dari api neraka.” (HR At-tirmidzi, An-Nasa-I, Abu Dawud)

“Barang siap yang bicara tentang Al-Quran dengan pendapatnya sendiri, maka ia akan salah.” (HR Abu Imran)

“Barang siapa bicara tentang Kitabullah dengan pendapatnya sendiri maka (apabila pendapatnya) benar, maka ia tetap salah.” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nisa-I)